KENAPA SUMEDANG KURANG MAJU


Ayang-ayang gung, Gung goongna rame
Menak Ki Mas Tanu, Nu jadi Wadana
Naha maneh kitu, Tukang olo-olo
Loba anu giruk, Ruket ka kumpeni
Niat jadi pangkat, Katon kagorengan
Ngantos Kanjeng Dalem, Lempa-lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong, Jalan ka Batawi ngemplong
(Lagu kaulinan Budak di Tatar Sunda – Jaman Baheula)
Bila dilihat dari “lagu kaulinan budak” jaman baheula tersebut, nampaknya mengandung filsafat yang tinggi sebagai pembelajaran moral dari masyarakat untuk kalangan Menak di Tatar Sunda. Konon lagu kaulinan budak itu diciptakan oleh seorang Penghulu (Pemuka Agama) sebagai bentuk ungkapan untuk menyindir “Birokrat” yang berkelakuan tidak baik.
Menak dan Cacah (somah) pada masa meranggasnya pemerintahan feodalistik di tatar Sunda merupakan fakta sosial yang menempatkan urang Sunda ke dalam stratafikasi sosial. Menak dan somah adalah jaringan hubungan sosial yang saling berinteraksi, terorganisir, dan berproses sehingga dapat dibedakan posisi sosial individu ataupun subkelompok dalam sebuah medan sosial. Menak adalah kaum bangsawan yang acap kali diperlakukan istimewa, sedangkan somah sebagai rakyat biasa yang banyak dieksploitasi demi kepentingan pribadi kaum menak.

Bagaimana Feodalistik Menak ?

Hal itu memberikan harta warisan feodalistik yang bisa dilihat dalam kebiasaan menak di masa penjajahan, dengan memiliki selir sampai puluhan orang. Bahkan pada abad ke 20 di Bandung pernah terjadi pemaksaan terhadap Aom Ogog, putera Bupati Bandung untuk menceraikan istrinya bernama Oma, karena sang istri bukan berasal dari abdi dalem. Selain itu, dalam bidang pendidikan juga menak di tatar Sunda kerap diuntungkan feodalisme gaya baru yang dipelihara atau dilanggengkan kaum Belanda untuk menancapkan kekuasaannya. Mereka mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak-anak yang berasal dari para pejabat pemerintahan (Nina H Lubis, 2000).
Dari situlah dapat dilakukan analisa – sebagai gambaran kemirisan kita – terhadap laku kaum menak yang cenderung membentuk komunitas sendiri dan selalu mengambil manfaat dari setiap hubungan. Perilaku feodalistik ini merupakan pelanggengan kebudayaan raja yang hirarkis dan banyak memperlakukan rakyat secara tak manusiawi oleh penjajah belanda dalam melakukan politik etis pecah belahnya di tatar Sunda.
Akal bulus kaum penjajah terlihat jelas dari cara memperlakukan kalangan menak Sunda dengan mengangkat sebagian anggota atau keluarganya untuk menduduki posisi tinggi dalam administrasi dan birokrasi kolonial. Tujuannya guna menjaga suasana lebih kondusif. Menak dan cacah atau somah seakan hidup dalam dunia yang berbeda, karena hubungan yang terjadi lebih bersifat formal, bahkan seringkali intimidatif, bukan hubungan intim yang berasal dari rasa simpati dan empati (Mikihiro Moriyama, 2005).
Sejak abad ke-17, sejarah Sunda mengalami babak baru, karena dari arah pesisir utara Jayakarta (Batavia) kekuasaan Kompeni Belanda mulai merangsek masuk (sejak 1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur kekuasaan Mataram (sejak 1625) juga berusaha menakulukkannya. Secara perlahan akhirnya seluruh Tanah Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda, karena itu mulailah era baru di tatar Sunda dengan kepemimpinan berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Namun, keuturunan raja-raja Sunda dan orang yang dahulunya berada dalam lingkaran keluarga kerajaan mendapatkan hak istimewa. Tidak begitu halnya dengan rakyat jelata. Mereka tertindas – meminjam bahasa Pramoedya Ananta Toer – di negerinya sendiri serta menjadi budak bagi bangsa sendiri dan bangsa luar.
Yang disebut golongan priyayi terutama adalah para menak yang bekerja untuk pemerintah (gubernement), dimana susunannya pada tingkat kabupaten adalah Patih, Onder Collecteur, Jaksa, dan Penghulu. Sedangkan di tingkat distrik terdiri dari Wedana dan Mantri Ulu-ulu (pengairan). Di tingkat onderdistrik yang dianggap priyayi adalah Camat.
Kaum menak tersebut menduduki posisi penting dalam hirarki status tradisional. Mereka dengan sungguh-sungguh mempertahankan perbedaan yang ada antara mereka dan golongan cacah. Seperti misalnya: Cara berpakaian, hubungan ikatan perkawinan (selalu mensyaratkan : babat, bebet, bibit dan bobot), meniru kebudayaan keraton, bangunan tempat tinggal (termasuk ukuran, letak, serta susunannya), dan memelihara sejumlah besar abdi (pangawula).
Kaum menak merasa dalam segala hal lebih dari kaum cacah. Semua pekerjaan kasar pantang bagi mereka. Karena sebagian besar mereka adalah kaum birokrat, dengan begitu kaum menak membangun kebudayaan mereka berdasarkan kepentingan yang erat / kuat untuk status, kehalusan, sikap sopan santun berlebihan yang terkendalikan, dan untuk urusan seni murni. Pendek kata mereka adalah pelindung dan pendukung seni dan adat kebiasaan menurut pola-pola yang terdapat dalam kehidupan aristrokratis.

Perlawanan “Menak” dan “Somah

Tanah Sunda yang subur dan orang-orang yang rajin bekerja tapi lugu menjadikan daerah ini rawan dengan eksploitasi sehingga menguntungkan penguasa kolonial Belanda, dan membawa kemakmuran yang luar biasa bagi mereka yang tinggal di sini (di Sunda) serta yang berada di tanah leluhurnya. Sebaliknya, rakyat Sunda tidak mengecap keuntungan yang setimpal dengan tenaga dan jasa yang diberikan, bahkan banyak yang hidupnya menderita, kecuali sekelompok masyarakat kecil yang dekat dan kerjasama dengan penguasa kolonial yang biasa disebut kaum menak.
Namun, tidak semua kalangan bangsawan (menak) Sunda menyetujui penjajahan yang dilakukan bangsa luar sehingga mengundang ketakpuasan dan bahkan penentangan sebagian masyarakat di bawah pimpinan bangsawan. Perlawanan dan pemberontakan rakyat itu dipimpin oleh kalangan atas (menak) di tatar Sunda, di antaranya:
  • Dipati Ukur di Priangan (1628-1632),
  • Sultan Ageng Tirtayasa dan pangeran Purbaya di Banten (1659-1683),
  • Prawatasari di Priangan (1705-1708),
  • Kyai Tapa dan Bagus Buang di Banten (1750-1752),
  • Bagus Rangin (1802-1818),
  • Kyai Hasan Maulani di Kuningan (1842),
  • Kyai Washid di Banten (1888), dan
  • Kyai Hasan Arif di Garut (1918).
Para pendobrak sistem feodalistik di atas mencoba untuk menafsirkan Sunda sebagai budaya yang memiliki kesamaan derajat sehingga harus melakukan perlawanan ketika ada usaha eksploitisir dari pihak kolonial, meskipun kalau hendak menjilati para penjajah, mereka akan mendapatkan tempat yang istimewa seperti halnya menak. Namun, hal itu tidak mereka lakukan karena dirinya seolah merasakan penderitaan rakyatnya (baca: berempati dan bersimpati) yang sedang ditindas oleh para penjajah.
Menak dalam pranata sosial Sunda masa kerajaan adalah sebuah gambaran dari pengaruh gaya hidup raja-raja tempo dulu yang masih dipelihara hingga kini dan mewujud dalam pelbagai bentuk faktual. Salah satunya neo-menak, yang saat ini masih tetap terpelihara dan bermetamorfosis menjadi para pejabat yang tak aral kepalang memperlakukan rakyat sebagai sapi perahan, terutama ketika pemilihan kepala daerah tengah berlangsung. Mereka menuntut gaji dan tunjangan besar ketika kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa “sengkarut acak-acakan”.
Bila dilihat dalam sejarah tersebut di atas, nampaknya dari kalangan Kyai (Intelektual Muslim)-lah yang menentang adanya perbedaan harkat martabat kehidupan manusia itu, karena memang dalam ajaran Islam semua manusian di hadapan Alloh adalah sama, yang membedakan hanya tingkat keimanannya !
Bagaimana eksistensi Menak pada saat ini di daerah Sumedang ?
Walau kini jaman sudah berubah jauh dan lebih modern, ternyata untuk kaum Menak tidak tidak demikian, mereka secara exclusive tetap menjaga eksistensinya dan masih tetap ingin dihargai atau bahkan ingin mendapatkan tempat kedudukan / performance di masyarakat lebih dari yang lain, walau pada kenyataanya banyak diantara keluarganya tidak mengenyam pendidikan tinggi, namun tetap bangga dengan bergelar: Raden, Aom, Juag, Agan dsb. dibandingkan dengan gelar kesarjanaan dari Perguruan Tinggi.
Keadaan seperti tersebut di atas, kini masih terasa kental di lingkungan masyarakat Sumedang (kota), yang mana mereka kebanyakan dulunya adalah merupakan Pegawai Pemerintah di bawah Kolonial Belanda. Selain itu selalu menjadi kebanggaan mengaku dirinya sebagai keturunan dari Raja-raja Sumedang Larang,
Bangga dengan kebesaran jaman itu boleh-boleh saja, namun untuk sekarang seharusnya jangan dijadikan sebagai suatu patokan bahwa kebesaran jaman / keturunan ningrat tersebut membuat lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Akan tetapi nampaknya keadaan itu tidak mudah untuk dieliminir, sehingga akhirnya kini menjadikan suatu hambatan dalam proses pembangunan daerah, sehingga regulasi dan peraturan di daerah terasa kaku untuk menerima orang lain yang ingin berusaha dan menanamkan modalnya di daerah Sumedang.
Hal itulah salahsatunya yang membuat Sumedang ketinggalan dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Jawa Barat.
Salah satu upaya untuk dapat meningkatkan pembangunan daerah di Sumedang, selain mengelola Sumber Daya Alam, adalah meningkatkan tarap kehidupan masyarakat dari semua lapisan dengan cara meningkatkan keterampilan dan keahlian, dengan berbaur bersama tanpa membedakan tingkat / golongan, menak atau cacah, sehingga dengan itu akan menimbulkan “semangat baru” untuk meningkatkan daerah bersama-sama.
Karena Etnik Sunda akan terus eksis ketika ia ditafsirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas, diskriminatif, dan kebudayaan mono(po)litik yang mengebiri keberagaman, seperti eksistensi menak yang menempatkan manusia Sunda pada “tangga-tangga” relasi sosial yang kaku.
Sehingga bila Sumedang ingin lebih maju dan tidak mau ketinggalan dengan daerah-daerah lainnya, maka harus memiliki tatanan kehidupan neo-modernisme tanpa membeda-bedakan tingkat kehidupan dalam masyarakat, sehingga nantinya akan tercipta suatu semangat bersama yang senasib dan sepenanggungan serta sama-sama memiliki kenginan untuk maju dalam semua segi aspek: sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta beragama.
Dengan demikian kelak dikemudian hari akan tercipta suatu kehidupan Masyarakat yang Madani sehingga akan tercapai Adil Makmur – Gemah Ripah – Repeh Rapih dan Lohjinawi.  SEMOGA…!
Salam Sono ti Urang Wado
(Ir.H.Surahman,M.Tech,M.Eng)

No comments: