MASYARAKAT SADAR BUDAYA


PENTINGNYA KEBUTUHAN KRITIK SENI DI MASA KINI UNTUK MEMBANGUN MASYARAKAT SADAR BUDAYA

Dunia kini sudah semakin kompleks, banyak gejala perubahan budaya yang bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah budaya barat dan budaya timur yang sebetulnya banyak perbedaan seakan-akan terus membaur membentuk satu kebudayaan yang lebih universal. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi kemungkinan menjadi salah satu faktor pendukungnya. Kehadirannya di tengah kehidupan kita telah membuat sekat-sekat atau jarak-jarak informasi dan komunikasi yang tadinya lebar menjadi tidak ada batasan lagi. Pembauran budaya seperti ini mungkin ada nilai positif nya untuk perkembangan suatu bangsa, namun kita juga harus sensitif pula dengan nilai negatif dari pengaruh perkembangan zaman ini. Jangan sampai kita kehilangan arah / cara untuk mengenali lebih jauh perihal kebudayaan bangsa sendiri. Sebagai bangsa yang memiliki gen budaya timur tentunya kita harus mampu melestarikan warisan budaya pendahulu kita dengan segala upaya.
Wacana tentang pembangunan masyarakat sadar budaya merupakan isu hangat masa kini. Hal ini terjadi karena fenomena-fenomena sekarang cenderung memperlihatkan adanya pergeseran-pergeseran budaya ke arah yang tidak jelas (absurd). Contohnya, sebagian besar anak-anak masa kini di dalam kehidupan sehari-harinya sangat miskin fasilitas informasi tentang kebudayaan bangsanya (khususnya tentang kebudayaan lokal), sehingga ketika di tanya mereka hanya bisa menjawab tidak tahu karena belum pernah diajarkan oleh gurunya di sekolah. Selain itu, hal ini terjadi sebagai akibat dari minimnya media-media bacaan baik elektronik maupun non elektronik yang menyajikan materi tentang kebudayaan lokal dan nusantara. Namun, kenyataan yang lebih parah lagi adalah karena masyarakat kita sendiri kurang tertarik untuk memahami lebih jauh tentang kebudayaan bangsanya sendiri. Kini, mereka lebih senang berbicara tentang materialism, konsumerisme, dan hal-hal yang berbau ke-modern-an.
Berbagai langkah telah diupayakan untuk menciptakan masyarakat yang sadar budaya. Salah satunya adalah mengupayakan pendidikan sebagai ujung tombaknya. Di sekolah-sekolah kini mulai diterapkan “Kurikulum Berkarakter”, yaitu kurikulum yang bertujuan mencetak output-output yang berkarakter kebangsaan dan output yang berbudaya. Selain itu, upaya yang lain nya adalah dengan mulai dimasukannya mata kuliah kritik seni di kurikulum perguruan tinggi tingkat S-2.
Mata kuliah yang hanya terdapat di program seni ini diharapkan agar pengaruhnya bisa diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat, bahwa mulai saat ini budaya menulis kritik seni harus semakin progresif agar masyarakat bisa terarah menjadi masyarakat sadar budaya. Keberadaan mata kuliah ini diharapkan mampu melahirkan kritikus-kritikus seni yang tulisan-tulisan dari hasil penelitiannya di bidang seni dan kebudayaan harus sampai ke tengah-tengah masyarakat dengan berbagai mekanismenya. Tulisan kritik seni ada baiknya juga memperhatikan segi usia pembaca di samping nilai berat-ringan konten tulisan tersebut. Dengan demikian bisa di pahami lebih luas pada tiap kalangan.
Apabila situasi sadar budaya tersebut diupayakan lewat pendidikan, penyelenggaraan pendidikan harus memberikan ruang dan peluang bagi subjek-subjek yang terlibat di dalamnya masuk dalam dan terlibat pada proses tertentu yang sifatnya dinamik. Artinya, hal itu menjadi sebuah proses yang memungkinkan adanya perubahan manusia Indonesia memasuki situasi sadar budaya sebagaimana diidealisasikan. Persoalannya, nilai-nilai budaya yang manakah yang perlu menjadi perhatian utama dalam upaya menuju situasi sadar budaya itu. Dalam konteks kependidikan, nilai-nilai tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan.
Dalarn kaitan tersebut paling tidak terdapat dua macam pandangan. Pertama, adanya pemikiran yang mempertimbangkan kehidupan manusia yang makin mengglobal. Untuk itu, diharapkan akan terbentuk nilai-nilai budaya baru yang bersifat mondial, trans-nasional, atau nilai budaya yang berada di jalur utama kehidupan di dunia ini. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan tolok ukur yang dapat diterapkan di mana-mana.
Kedua, adanya pemikiran yang bertolak dari kekhawatiran munculnya dampak budaya yang disebabkan oleh globalisasi, terutama sekali, tata ekonomi dan tata informasi. Pemikiran kedua ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul dan tidak menguntungkan bagi wilayah-wilayah kehidupan yang tidak berada di jalur utama. Mereka yang tetap menghayati nilai-nilai budaya lokalnya dikhawatirkan akan menjadi kaum marginal / terpinggirkan yang kurang dimunculkan dalam konstelasi informasi dunia, dan seringkali kurang diuntungkan secara material. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan jati diri bangsa, yang ditandai oleh kebudayaannya, akhirnya menjadi isu kemanusiaan yang bersifat sentral.
Sebagai bangsa yang bhineka, kita memiliki dua macam sistem budaya yang sama-sama harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistern budaya nasional Indonesia dan sistern budaya etnik lokal. Sistern budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang berada dalam proses pembentukannya.  Sistern ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal yang mana pun. Nilai-nilai budaya yang terbentuk dalam sistem budaya nasional itu bersifat menyongsong masa depan, misalnya kepercayaan religius kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bukan kepada yang selain itu; pencarian kebenaran duniawi melalui jalan ilmiah; penghargaan yang tinggi atas kreativitas dan inovasi, efisiensi tindakan dan waktu; penghargaan terhadap sesama atas dasar prestasinya lebih daripada atas dasar kedudukannya; penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan rakyat; serta toleransi dan simpati terhadap budaya suku bangsa yang bukan suku bangsanya sendiri.
Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya berdasarkan nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistern budaya etnik lokal. Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya.
            Dengan demikian, pendidikan sebagai proses menuju hal itu dapat berfungsi untuk mengubah dan memperbaharui keadaan, sekaligus menyadarkan manusia terhadap akar budayanya.
Budaya barat yang sudah maju secara ekonomis dan teknologis secara tak terhindarkan telah melanda kita dengan begitu kuat sehingga kita merasa kehilangan (sebagian) identitas tradisional bangsa. Munculnya keinginan untuk membangun kembali identitas bangsa, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan, pengaruh budaya "lain".
Akhirnya, jika nilai-nilai budaya tersebut berhasil ditanamkan lewat pendidikan yang berfungsi mencerdaskan bangsa, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang berdaya guna dalam kehidupan manusia: manusia yang sadar budaya. Artinya, memiliki nilai-nilai budaya nasional serta mampu pula menghayati kearifan-kearifan lokalnya. Dengan jatidiri yang kuat, kita tidak akan jatuh dalam posisi lemah terhadap bangsa lain.

No comments: