Animasi: Antara Nasionalisme dan Kapitalisme


Siapa yang tak kenal Doraemon, Shincan, Naruto, Ninja Hatori, dan berbagai macam film kartun lainnya. Semua adalah hasil karya animasi dari negeri Jepang yang sudah sangat populer dalam keseharian kita. Ada lagi akhir-akhir ini Upin dan Ipin dari Malaysia yang sangat menggemaskan dan sudah tayang setiap hari di stasiun tv kita. Lantas mana animasi karya anak bangsa? Apakah memang tidak ada atau memang ada tapi tidak sepopuler animasi-animasi Jepang di atas? Hebring, Broken, Jagoan, Si Huma, Rescue Team the Series, Petruk Show, dan Maraih Mimpi adalah animasi-animasi karya anak negeri. Apakah anda pernah menonton salah satunya?
Mengapa animasi karya anak negeri tidak laku di pasaran? Pertanyaan tersebut yang sebenarnya perlu kita cari tahu jawabannya. Pada Seminar Ilmiah yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS Solo pada 09/10 hadir seorang animator Indonesia yang sudah malang melintang di dunia animasi. Hanitianto Joedo seorang animator asal Jogyakarya menerangkan sedikit abnyak bagaiamana pengalaman dia selama menjadi seorang animator. Mungkin juga pengalaman yang dia alami mewakili dari pengalaman animator-animator lokal lainnya.
Pada kesempatan tersebut Joedo panggilan akrabnya menceritakan bagaimana dia berkiprah menjadi biro animasi. Kebetulan dia mempunyai biro animasi yaitu Jogjanimatios. Melalui biro ini mereka melayani konsumen ynag ingin membuat animasi untuk berbagai keperluan. Salah satunya adalah iklan. Tidak hanya sebatas itu sebenarnya akrena segala gambar yang bergerak sudah bisa disebut dengan animasi. Animasi berarti bahwa to animate yang berarti menggerakkan/menghidupkan. Sedangkan pengertian animasi sendiri adalah bagian dari motion picture (gambar begerak) yang pada awalnya statis lalu diproyeksikan ke layar untuk menciptakan suatu ilusi gerak.
Selain itu Joedo mengungkapkan bahwa animasi sangat bermanfaat bagi manusia untuk menyapaikan suatu pesan tertentu. Berbagai macam alasan mengapa orang lebih memilih animasi dalam membuat suatu cerita. Faktor biaya merupakan pertimbangan tersendiri bagi seseorang lebih memilih animasi. Faktor lainnya yaitu menarik, berbagai macam lakon tidak dapat dilakukan manusia, tidak membosankan, tidak bisa dibuat liveshoot, mahal jika dibuat liveshoot, menghemat waktu, dan tidak membatasi kreativitas.
Selain itu ketika seorang direktor sudah memutuskan menggunakan animasi dalam menyampaikan pesannya maka perlu diperhatikan bahwa animasi bukan merupakan proses yang cepat, perlu persiapan yang matang dan lengkap, usahakan tidak ada perubahan atau revisi, dan tidak semua bisa atau perlu dibuat dengan animasi.
Di akhir acara Joedo mengungkapkan bahwa nasib animator Indonesia tidak sebaik animator-animator luar negeri. Akibatnya banyak animator lokal pergi meninggalkan Indonesia dan lebih memilih memajukan dunia animasi luar negeri. Lihat saja bagaimana apiknya animasi game Need for Speed, Spiderman I dan II, Upin dan Ipin dan film Transformer. Animasi-animasi di dalamnya turut dibuat oleh animator dalam negeri walaupun secara modal berasal dari negeri lain. Lantas apa yang membuat nasib animator Indonesia tidak sebaik nasibnya dibandingkan animator luar? Ternyata keterbatasan modal yang menyebabkan hal tersebut. Tingginya biaya untuk membuat animasi menyebabkan animasi Indonesia hidup segan mati tak mau. Jika biaya produksi sudah tinggi maka harga jualnya pun tinggi. Sedangkan harga animasi-animasi luar dijual dengan sangat murah kepada stasiun-stasiun tv kita. Televisi dalam negeri tentu lebih memilih animasi yang murah agar bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Nasionalisme seperti tidak pernah ada dalam hal ini.
Dalam Jogjanews.com Joedo mengungkapkan bahwa kemampuan pelaku animasi di Indonesia sesungguhnya sangat bisa dibanggakan. Pelaku animasi Indonesia misalnya turut menciptakan animasi film Spiderman 1 dan 2. Animator Indonesia bisa membuat film animasi serial Upin Ipin. Karakter kemampuan animator Indonesia sangat bagus hanya tinggal persoalan peluang saja. Mending buat sinetron,” jelas Joedo. Saat ini setidaknya ada 124 animator Indonesia yang kualitasnya diakui luar negeri
Menurut Denny A. Joenaid, Ketua Asosiasi dan Industri Konten indonesia (AINAKI) kesempatan untuk memperlihatkan hasil animasi lokal di televisi masih kalah dengan penayangan kartun-kartun dari luar negeri karena daya beli mereka lebih murah (membeli lisensi produk jadinya saja). Sedangkan animasi lokal proses praproduksi sampai pascaproduksi dikerjakan sendiri, jadi biaya hak siarnya jadi lebih mahal (mangafire.net).
Selain itu pemerintah kurang mendukung sepenuhnya kemajuan animator-animator Indonesia. Sangat iri ketika mendengar bagaimana pemerintah Malaysia membantu pendanaan produksi Upin dan Ipin hingga bisa sangat populer hingga kini. Animator Upin dan Ipin tidak dipusingkan lagi bagaimana cara mendapatkan dana untuk membiayai produksi.. Tetapi cuma memikirkan bagaimana agar animasi mereka bagus dan semakin menarik orang untuk menontonnya.
Akhirnya sekarang bagaimana kita mensiasati kekurangan dari bangsa ini. Tidak hanya di dunia animasi tetapi juga dunia lainnya yang menjadi potensi kita. Nasionalisme tentu harus tetap dipertahankan dan diperjuangkan. Tidak ingin adik-adik kita terus dijajah oleh animasi-animasi luar. Saatnya animator dalam negeri terus didukung agar bisa membawa nama baik bangsa ini ke mata dunia dan membuktikan kalau Indonesia juga hebat dan tidak mudah untuk disepelekan.

Sumber:
image: http://anaksemeru.blogspot.com/2009/02/animasi-indonesia.html

No comments: