PERIODE PERALIHAN MASA POST-JATENG HINGGA PRA- SINGHASARI


Oleh: Lendra Morjuangsah

A.      Latar Belakang Pertumbuhan
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki beraneka ragam kesenian daerah. Kesenian Indonesia yang hadir sesuai dengan keadaan lingkungan alam dan perkembangan kebudayaan masyarakat setempat.
Dimulai dari zaman prasejarah, kesenian asli Indonesia terus berkembang berakulturasi dengan kebudayaan asing yang mempengaruhinya. Dengan berdirinya kerajaan Hindu-Budha di Indonesia maka lahir pula kebudayaan yang bersumber dari kedua agama itu. “Kesenian Indonesia pada masa itu berfungsi sebagai media pengabdian agama dan sekaligus pengabdian kepada para raja dan bangsawan” (Yudoseputro, 1983:36).
Peninggalan karya seni pada zaman ini banyak yang tidak berbekas karena bahan yang dipakai serba tidak tahan lama, “sisa-sisa peninggalan hanya karya seni yang terbuat dari bahan batu dan logam” (Yudoseputro, 1983:37). Karya-karya peninggalan pada masa ini di antaranya seperti pada candi, patung, prasasti, senjata, busana kerajaan seperti mahkota, kelat bahu, dan perhiasan-perhiasan logam dari emas.
Khusus mengenai candi, hampir semua ahli sejarah sependapat bahwa konsep dan arsitek candi berasal dari pengaruh Hindu (India) yang menyebar pengaruhnya hingga ke Nusantara sekitar abad ke- 4 hingga abad ke-15. Pengertian pengaruh Hindu di sini adalah untuk menyebut semua bentuk pengaruh yang berasal dari India yang masuk ke Nusantara pada periode tersebut. Pengaruh-pengaruh itu di antaranya agama/kepercayaan Hindu dan Budha dengan tata cara ritualnya, bahasa dan tulisan (Sansekerta dan Palawa), konsep kasta dalam masyarakat (stratifikasi sosial), sistem pemerintahan feodal dan arsitektur bangunan. Gaya seni candi di Jawa bisa dibagi berdasarkan aspek zaman dan periode, yaitu gaya Mataram Kuno (abad 8-10 M), gaya Singasari (abad 12-14 M), dan gaya Majapahit (abad 13-15 M).
Akulturasi budaya India di Indonesia yang terjadi secara penetration pacifique (jalan damai) terbagi ke dalam 3 tahap yaitu; tahap imitasi, adaptasi, dan tahap kreasi. Pada tahap imitasi, seperti yang tampak pada Candi Dieng di Jawa Tengah, unsur-unsur dari gaya seni India identik ditiru sepenuhnya. Pada tahap adaptasi (9-13 M), gaya seni India mulai dikombinasikan dengan nilai-nilai ‘asli’ Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyangnya dulu. Contohnya, Candi Borobudur yang Struktur Dasar Candi Di Jawa (Candi Bajangratu dari Jawa Timur)mengingatkan kita pada bentuk punden berundak karya zaman prasejarah.  Pada tahap ini, nampak sebuah kesan tentang pencarian jati diri dalam berkesenian atau kesadaran orang Indonesia untuk memadukan nilai/unsur Jawa ke dalam unsur India. Pada tahapan kreasi, gaya-gaya baru dalam arsitektur Candi pun bermunculan. Proses yang disebut sebagai Jawanisasi (penjawaan) budaya India secara lebih nyata tampil pada candi-candi di Jawa Timur.

B.       Masyarakat Pendukung dan Lokasi Pemukiman
Indonesia pantas disebut sebagai negara “Seribu Candi”, karena Candi tersebar di berbagai wilayah Nusantara, khususnya di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Candi merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan kuno yang pernah ada di Indonesia, seperti Mataram Hindu, Singasari, Majapahit, dan Sriwijaya. Candi Borobudur dan Candi Prambanan (Loro Jonggrang) adalah bukti-bukti kejayaan Kerajaan Mataram dari abad ke-8 hingga ke-11. Candi Singasari, Kidal, dan Jago merupakan sisa-sisa kebesaran Kerajaan Singasari, dari abad ke-11 hingga ke-13. Candi Tikus, Bajangratu, Brahu, dan Wringin Lawang adalah peninggalan Kerajaan Majapahit, dari abad ke-13 hingga ke-15. Candi-candi di sekitar Muara Jambi diduga merupakan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 hingga ke-11.
Candi-candi di Indonesia umumnya bercirikan agama Budha (terutama aliran Mahayana dan Tantrayana) dan agama Hindu (terutama aliran Siwaisme) sesuai dengan agama yang dianut oleh masyarakatnya. Candi bersifat Budha dikenal lewat arca Budha dan bentuk stupa, misalnya Borobudur dan Mendut. Sementara itu, Candi bersifat Hindu mempunyai arca-arca dewa-dewi di dalamnya, misalnya Prambanan dan Dieng. Uniknya, beberapa candi bersifat campuran Siwa-Budha, antara lain Singasari dan Jawi di Jawa Timur. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa pada masa ini masyarakat yang beragama Siwa-Budha hidup rukun berdampingan, memperlihatkan sinkretisme.
Berbeda dengan candi-candi di Jawa Tengah, bentuk candi di Jawa Timur kembali dihubungkan dengan pemujaan terhadap gunung. Contohnya Candi Sukuh dan Candi Cetha. Menurut kepercayaan dan alam pikiran masyarakat pada masa itu, candi merupakan tempat sementara dan merupakan tiruan dan tempat dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena itulah candi dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan yang terdiri atas pola-pola yang disesuaikan dengan alam gunung tersebut; seperti bunga-bunga teratai, binatang--binatang ajaib, bidadari-bidadari, dewa-dewi dan sebagainya.
Candi dimaksudkan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya para raja dan orang-orang terkemuka. Adapun yang dikuburkan di situ bukan hanya jasad yang telah meninggal, melainkan juga benda-benda seperti potongan berbagai jenis logam, batu-batu berharga, disertai saji-sajian. Benda-benda tersebut dinamakan pripih dan dipandang sebagai lambang zat-zat jasmaniah dan sang raja yang telah bersatu kembali dengan penitisnya.
Setelah seorang raja meninggal dunia jenazah raja tersebut dibakar dan abunya dibuang ke laut. Kegiatan ini dilakukan dengan serangkaian upacara. Maksudnya adalah untuk menyempurnakan roh agar dapat bersatu kembali dengan dewa yang dahulu menitis dan menjelma di dalam diri sang raja tersebut.
Selain mendirikan candi, biasanya dibuat pula patung raja sebagai bentuk perwujudan sang raja sebagai dewa.
Candi yang dipergunakan sebagai pemakaman hanya terdapat dalam agama Hindu, sedangkan candi-candi agama Budha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan kepada dewa saja. Bagi masyarakat penganut agama Budha, candi bukanlah tempat penyimpangan pripih. Raja yang telah wafatpun tidak dibuatkan patung dirinya. Abu jenasah para raja atau biksu yang wafat akan ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa.

C.      Produk Kebendaan/Karya Seni Awal dan Kajian Estetikanya
Menurut sejumlah arkeolog, berdasarkan langgam seninya candi-candi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, langgam Jawa Tengah Utara. Contohnya Candi Gunungwukir, Badut, Dieng, dan Gedongsongo. Kedua, Langgam Jawa Tengah Selatan misalnya Candi Kalasan, Sari, Borobudur, Mendut, Sewu, Plaosan, dan Prambanan. Ketiga, langgam Jawa Timur, termasuk candi-candi di Bali, Sumatera dan Kalimantan. Contohnya Candi Kidal, Jago, Singasari, Jawi, Panataran, Jabung, Muara Takus dan Gunung Tua.
Dilihat dari corak dan bentuknya, pada dasarnya candi di Jawa Tengah Utara tidak berbeda dari candi-candi Jawa Tengah Selatan. Hanya candi-candi di Jawa Tengah Selatan lebih mewah dan lebih megah dalam bentuk dan hiasan dibandingkan candi-candi Jawa Tengah Utara.
Berdasarkan tata letaknya, candi ada yang berdiri sendiri namun ada pula yang mengelompok dan terdiri atas sebuah candi induk. Susunan letak candi yang demikian rupanya sangat berkaitan dengan alam pikiran serta susunan masyarakatnya. Seperti halnya kelompok candi di bagian Selatan Jawa Tengah selalu disusun dengan candi induk berdiri di tengah dan candi-candi kecil lain di sekelilingnya. Di bagian Utara Jawa Tengah, candi -candi itu berkelompok tak beraturan dan lebih merupakan gugusan candi yang masing-masing berdiri sendiri. Hal seperti ini mencerminkan adanya pemerintahan pusat yang kuat di Jawa Tengah Selatan dan pemerintah federalnya yang terdiri atas daerah-daerah swatara yang sederajat di Jawa Tengah Utara. Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa pemerintahan keluarga Syailendra sifatnya feodal dengan raja sebagai pusatnya, sedangkan keluarga Sanjaya bersifat lebih demokratis.
Di Jawa Timur, sejak zaman Singhasari, susunan candinya berlainan pula. Candi induk terletak di bagian belakang halaman candi, sedangkan candi-candi perwaranya serta bangunan-bangunan yang lain ada di bagian depan. Candi induk adalah tersuci dan di dalam kelompok menduduki tempat yang tertinggi. Susunan yang demikian menggambarkan pemerintahan feodal yang terdiri atas negara-negara bagian yang memiliki otonomi penuh, sedangkan pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi berdiri di bagian belakang mempersatukan pemerintahan-pemerintahan daerah dalam rangka kesatuan.
Secara umum struktur candi dipilah tersusun dari tiga bagian tegak (vertikal). Bagian kaki candi disebut BHURLOKA melambangkan dunia manusia (dunia bawah=bhumi); bagian tubuh candi disebut BHUVARLOKA melambangkan dunia untuk yang disucikan; dan bagian atap candi dikenal dengan SVARLOKA yang merupakan dunia dewa-dewa.


1.    Candi-candi di Jawa Timur
Di Jawa Timur banyak ditemukan peninggalan candi yang tersebar sampai ke daerah-daerah terpencil. Di antara candi-candi tersebut ada yang sudah dikonservasi ada juga yang sama sekali belum diperhatikan karena terlampau rusak ataupun memang belum ditemukan karena tertimbun tanah.
Dari beberapa candi yang telah menjadi mata rantai sejarah masa silam  di Jawa Timur ini kita bisa menelaah dan menafsirkan tentang pola perkembangan kebudayaan dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur yang dipengaruhi unsur geopolitik pada masa itu. Pola perkembangan itu misalnya tentang kekayaan ide dalam berekspresi (membangun candi). Benang merah dari perkembangan teknologi pembuatan candi ini pada umumnya tentang unsur kebentukan (gaya), bahan baku, fungsi, hingga ukuran.
Berikut beberapa contoh Candi yang ada di Jawa Timur :
a.    Candi Badhut
b.    Candi Bajang Ratu
c.    Candi Brahu
d.   Candi Cetha
e.    Candi Gunung Gangsir
f.     Candi Jago
g.    Candi Jawi
h.    Candi Kidal
i.      Cadi Kolam Segaran
j.      Candi Panataran
k.    Candi Plumbangan
l.      Candi Rimbi
m.  Candi Sadon
n.    Candi Sawentar
o.    Candi Singhasari
p.    Candi Surawana
q.    Candi Tegawangi
r.     Candi Tikus
s.     Candi Wringin Lawang


2.    Perbandingan Candi Jawa Tengah dan Jawa Timur
Jika diperhatikan lebih spesifik, terdapat banyak perbedaan antara candi-candi yang ada di Jawa Tengah dengan candi-candi yang ada di Jawa Timur. Memang ada persamaannya seperti fungsi dan strukturnya secara umum. Perbedaan-perbedaan spesifik candi di kedua wilayah itu diantaranya adalah candi-candi di Indonesia berbeda dengan candi-candi yang ada di India yang berfungsi sebagai tempat peribadatan atau kuil. Candi yang ada di Indonesia hanya mengambil unsur-unsur teknologi pembuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra, yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan. Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat beberapa perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum.
Bangunan Candi itu ada yang terkait dengan agama Hindu dan juga agama Buddha. Candi sebagai tempat pemakaman hanya terdapat dalam agama Hindu. Candi-candi Buddha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa saja. Di dalamnya tidak didapatkan Pripih. Candi agama Hindu, contohnya adalah Candi Prambanan, dan candi agama Buddha adalah Candi Borobudur. Kedua candi tersebut memiliki perbedaan, yaitu pada bagian puncak candi. Puncak candi agama Hindu berbentuk ratna. Sedangkan puncak candi agama Buddha berbentuk stupa.
Perbedaan candi juga didasarkan pada letaknya, yaitu candi di Jawa Tengah dan candi yang terdapat di Jawa Timur. Perbedaan bentuk-bentuk candi di kedua daerah tersebut antara lain:


a.         Bentuk bangunan candi Jawa Tengah tambun, sedangkan candi Jawa Timur lebih ramping;
b.  Candi Jawa Tengah atapnya berundak-undak, sedangkan candi Jawa Timur merupakan perpaduan tingkatan;
c.   Candi Jawa Tengah puncaknya berbentuk ratna atau stupa, sedangkan candi Jawa Timur berbentuk kubus;
d.    Gawang pintu dan relung candi Jawa Tengah berhiaskan kala makara, sedangkan candi Jawa Timur makaranya tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala; 
e.    Candi Jawa Tengah reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalisme, sedangkan candi Jawa Timur reliefnya tidak terlalu timbul dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit;
f.      Candi Jawa Tengah, candi induk letaknya di tengah halaman, sedangkan candi Jawa Timur, candi induk letaknya di belakang halaman;
g.     Candi Jawa Tengah kebanyakan menghadap ke Timur, sedangkan candi Jawa Timur menghadap ke Barat;
h.         Candi Jawa Tengah kebanyakan terbuat dari batu andesit, sedangkan candi Jawa Timur terbuat dari bata atau terakota.

Candi sebagai bangunan terdiri dari tiga bagian penting, yaitu kaki candi, tubuh candi, dan atap. Setiap bagian candi tersebut memiliki arti dan tujuan tersendiri:

a.         Kaki Candi
Kaki candi memilki simbol sebagai dunia bawah tanah atau bhurloka. Denahnya bujur sangkar, dan biasanya agak tinggi. Serupa batur, dan dapat dinaiki melalui tangga yang menuju terus ke dalam bilik candi. Di dalam kaki candi itu, di tengah-tengah, ada sebuah perigi tempat menanam Pripih.

b.      Tubuh Candi
Tubuh candi (bhuvarloka) terdiri atas sebuah bilik yang berisi arca perwujudannya. Arca ini berdiri di tengah bilik, jadi tepat di atas perigi, dan menghadap ke arah pintu masuk candi. Dinding-dinding bilik di bagian luarnya di beri relung-relung yang diisi dengan arca-arca. Relung sebelah selatan di isi Arca Siwa, bagian utara Arca Durga, dan bagian belakang (Barat atau Timur tergantung arah menghadapnya candi) diisi Arca Ganesha.

c.       Atap Candi
Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Atap candi selalu terdiri atas susunan tiga tingkatan, yang pada umunya semakin ke atas semakin kecil ukurannya yang bagian ujungnya di beri semacam ratna atau stupa. Di dalam atap candi terdapat rongga kecil yang dasarnya berupa batu segi empat berpahatkan gambar teratai merah sebagai takhta dewa. Pembuatan rongga itu ditujukan sebagai tempat bersemayam sementara sang dewa.

3.      Candi-candi Jenis Jawa Tengah di bagian utara, yang terpenting adalah:
a.         Candi Gunung Wukir dekat Magelang, yang berhubungan dengan prasasti Canggal tahun 732;
b.         Kelompok Candi Dieng, yang terdiri atas berbagai candi yang oleh penduduk diberi nama-nama wayang, seperti Bima, Samiaji, Arjuna, Gatutkoco, Semar, Srikandi, Dwarawati, dan sebagainya. Di dekat Candi Arjuna didapatkan sebuah prasasti yag bertanggal tahun 809;
c.     Kelompok Candi Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran;
d.    Motif arsitektur yang sama juga terletak di Candi Badut dekat Malang, yang berhubungan dengan Prasasti Dinoyo tahun 760.

4.      Candi-candi jenis Jawa Tengah di bagian selatan, yang terpenting adalah:
a.    Candi Kalasan, dekat Yogyakarta yang didirikan dalma tahun 778;
b.    Candi Sari, letaknya di dekat Candi Kalasan;
c. Candi Borobudur, yang dalam bentuk dasarnya merupakan punden berundak-undak tetapi disesuaikan dengan agama Buddha Mahayana untuk menggambarkan kamadhatu (bagian kaki yang tertimbun dan tertutup oleh susunan batu-batu rata), rupadhatu (bagian yang terdiri atas lorong-lorong dengan pagar-pagar tembok dan penuh hiasan serta relief-relief yang seluruhnya sampai 4 km panjangnya), dan arupadhatu (bagian atas yang terdiri atas batur-batur bundar, dengan lingkaran-lingkaran stupa yang semuanya tidak dihiasi sama sekali). Puncaknya berupa stupa yang besar sekali. Arca Buddha di Borobudur banyak sekali, diperkirakan berjumlah 505 buah; 
d.   Candi Mendut, di sebelah timur Candi Borobudur, yang di dalamnya memuat 3 arca batu besar sekali, yaitu Buddha diapit oleh Padmapani dan Wajrapani;
e.   Kelompok Candi Sewu, di dekat desa Prambanan, yang terdiri atas sebuah candi induk dikelilingi oleh kurang lebih 250 buah candi-candi perwara yang tersusun dalam 4 baris;
f.  Kelompok Candi Plaosan, di sebelah timur Candi Sewu, yang terdiri atas 2 buah candi induk dikelilingi oleh 2 baris stupa dan 2 baris candi perwara;
g. Kelompok Candi Loro Jonggrang di desa Prambanan. Yang disusun demikan sehingga candi induknya untuk Siwa diapit oleh candi-candi untuk Brahmana dan Wisnu dan dengan beberapa candi perwara lainnya merupakan pusat kelompok yang dikelilingi oleh lebih dari 200 buah candi perwara yang tersusun menjadi 4 baris.


5.      Candi-candi jenis Jawa Timur, yang terpenting adalah:
a.         Candi Kidal, letaknya dekat Malang, disebut juga Candi Anusapati;
b.         Candi Jago, letaknya dekat Malang, di sebut juga Candi Wisnudharma; 
c.       Candi Singosari, letaknya dekat Malang, disebut juga Candi Kertanagara;
d.      Candi Jawi, letaknya dekat Prigen;
e.       Kelompok Candi Panataran, letaknya dekta Blitar, yang halamannya terbagi atas 3 bagian sedangkan candi induknya terletak di bagian belakang;
f.       Candi Jabung, letaknya dekat Kraksaan, berupa bangunan stupa yang besar dan tinggi;
g.      Kelompok Candi Muara Takus, letaknya di dekat Bangkinang, yang terdiri atas beberapa bangunan, di antaranya yang masih tegak sebuah stupa yang bulat tinggi;
h.      Kelompok Candi-candi Gunung Tuo, letaknya di dekat Padang Sidempuan yang terdiri atas berbagai biaro sebagai candi-candi induk yang letaknya tersebar dan berjauhan. Dari arca-arca dan tulisan-tulisan yang didapatkan dapat diketahui dengan jelas sifat-sifatnya Tantrayana.

Bangunan-bangunan lain yang juga sering disebut sebagai candi adalah gapura-gapura. Masyarakat awam yang berada di sekitar bangunan memang menyebutnya sebagai candi karena bentunknya memang mirip candi, namun sebenarnya hanyalah berupa bangunan yang mirip pintu masuk menuju ke suatu tempat. Gapura mempunyai dua bentuk yang berbeda, yaitu padu raksa dan candi bentar. Pola padu raksa dapat kita lihat pada Candi Bajang Ratu yang bagian atas kedua candi tersebut menyatu. Jenis gapura yang kedua adalah yang bentuknya seperti bangunan candi yang dibelah dua, sebagai tempat jalan keluar masuk. Gapura yang semacam ini yang sering disebut sebagai candi, contohnya adalah Candi Waringin Lawang.
Selain itu, ada lagi bentuk bangunan candi yang dalam  masyarakat juga disebut sebagai candi tetapi sifat dan wujudnya sangat berbeda. Bangunan-bangunan ini adalah pertirtaan (tempat pemandian suci) dan candi padas. Pertirtaan yang terkenal adalah Jolotundo dan Belahan di lereng Gunung Pananggungan dekat Mojokerto, Candi Tikus di Jawa Timur, Goa Gajah dekat Gianyar. Sedangkan candi padas yang terkenal adalah Gunung Kawi di Tampaksiring.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan Bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama 'Tikus' hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
Dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad 13 sampai 14 M, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa itu.
. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian, yaitu sebuah kolam dengan beberapa bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah letaknya yang lebih rendah sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan paling atas terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi dalam, turun sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi kolam. Pintu masuk ke candi terdapat di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m menuju ke dasar kolam.
Di kiri dan kanan kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 m x 2 m dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-masing kolam berjajar tiga buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu andesit.
Tepat menghadap ke anak tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat sebuah bangunan persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan ini terdapat sebuah 'menara' setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk meru dengan puncak datar. Menara yang terletak di tengah bangunan ini dikelilingi oleh 8 menara sejenis yang berukuran lebih kecil. Di sekeliling dinding kaki bangunan berjajar 17 pancuran berbentuk bunga teratai dan makara.
Hal lain yang menarik ialah adanya dua jenis batu bata dengan ukuran yang berbeda yang digunakan dalam pembangunan candi ini. Kaki candi terdiri atas susunan bata merah berukuran besar yang ditutup dengan susunan bata merah yang berukuran lebih kecil. Selain kaki bangunan, pancuran air yang terdapat di candi inipun ada dua jenis, yang terbuat dari bata dan yang terbuat dari batu andesit.
Perbedaan bahan bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan bahwa Candi Tikus dibangun  melalui tahap. Dalam pembangunan kaki candi tahap pertama digunakan batu bata merah berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan bata merah berukuran lebih kecil. Dengan kata lain, bata  merah yang berukuran lebih besar usianya lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih kecil. Pancuran air yang terbuat dari bata merah diperkirakan dibuat dalam tahap pertama, karena bentuknya yang masih kaku. Pancuran dari batu andesit yang lebih halus pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap kedua. Walaupun demikian, tidak diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan tersebut dilaksanakan.


DAFTAR PUSTAKA

Holt, Claire. (2000). Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia. Bandung: Arti.Line.
Soekmono, Satyawati Suleiman. (1971). Kesenian Indonesia Purba. N.Y. City: Asia House Gallery.
Yudoseputro, W. (1983). Seni Kerajinan Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/badhut/badut.htm
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080808054804AAEQuXg
http://awidyarso65.files.wordpress.com/2008/09/candi-tulisanku1.pdf
http://www.docstoc.com/docs/18470671/Seni-dan-Budaya-Jawa-Timur

Tidak ada komentar: