A.
Latar
Belakang Pertumbuhan
Indonesia
dikenal sebagai bangsa yang memiliki beraneka ragam kesenian daerah. Kesenian
Indonesia yang hadir sesuai dengan keadaan lingkungan alam dan perkembangan kebudayaan
masyarakat setempat.
Dimulai
dari zaman prasejarah, kesenian asli Indonesia terus berkembang berakulturasi
dengan kebudayaan asing yang mempengaruhinya. Dengan berdirinya kerajaan
Hindu-Budha di Indonesia maka lahir pula kebudayaan yang bersumber dari kedua
agama itu. “Kesenian Indonesia pada masa itu berfungsi sebagai media pengabdian
agama dan sekaligus pengabdian kepada para raja dan bangsawan” (Yudoseputro,
1983:36).
Peninggalan
karya seni pada zaman ini banyak yang tidak berbekas karena bahan yang dipakai
serba tidak tahan lama, “sisa-sisa peninggalan hanya karya seni yang terbuat
dari bahan batu dan logam” (Yudoseputro, 1983:37). Karya-karya peninggalan pada
masa ini di antaranya seperti pada candi, patung, prasasti, senjata, busana
kerajaan seperti mahkota, kelat bahu, dan perhiasan-perhiasan logam dari emas.
Khusus
mengenai candi, hampir semua ahli sejarah sependapat
bahwa konsep dan arsitek candi berasal dari pengaruh Hindu (India) yang
menyebar pengaruhnya hingga ke Nusantara sekitar abad ke- 4 hingga abad ke-15.
Pengertian pengaruh Hindu di sini adalah untuk menyebut semua bentuk pengaruh
yang berasal dari India yang masuk ke Nusantara pada periode tersebut.
Pengaruh-pengaruh itu di antaranya agama/kepercayaan Hindu dan Budha dengan
tata cara ritualnya, bahasa dan tulisan (Sansekerta dan Palawa), konsep kasta
dalam masyarakat (stratifikasi sosial), sistem pemerintahan feodal dan
arsitektur bangunan. Gaya seni candi di Jawa bisa dibagi berdasarkan aspek zaman
dan periode, yaitu gaya Mataram Kuno (abad 8-10 M), gaya Singasari (abad 12-14
M), dan gaya Majapahit (abad 13-15 M).
Akulturasi
budaya India di Indonesia yang terjadi secara penetration pacifique (jalan damai) terbagi ke dalam 3 tahap yaitu;
tahap imitasi, adaptasi, dan tahap kreasi. Pada tahap imitasi, seperti yang tampak
pada Candi Dieng di Jawa Tengah, unsur-unsur dari gaya seni India identik
ditiru sepenuhnya. Pada tahap adaptasi (9-13 M), gaya seni India mulai dikombinasikan
dengan nilai-nilai ‘asli’ Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyangnya dulu. Contohnya,
Candi Borobudur yang Struktur Dasar Candi Di Jawa (Candi Bajangratu dari Jawa Timur)mengingatkan kita pada bentuk punden berundak karya zaman
prasejarah. Pada tahap ini, nampak sebuah
kesan tentang pencarian jati diri dalam berkesenian atau kesadaran orang
Indonesia untuk memadukan nilai/unsur Jawa ke dalam unsur India. Pada tahapan
kreasi, gaya-gaya baru dalam arsitektur Candi pun bermunculan. Proses yang
disebut sebagai Jawanisasi (penjawaan) budaya India secara lebih nyata tampil
pada candi-candi di Jawa Timur.
B.
Masyarakat
Pendukung dan Lokasi Pemukiman
Indonesia
pantas disebut sebagai negara “Seribu Candi”, karena Candi tersebar di berbagai
wilayah Nusantara, khususnya di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Candi merupakan
peninggalan kerajaan-kerajaan kuno yang pernah ada di Indonesia, seperti
Mataram Hindu, Singasari, Majapahit, dan Sriwijaya. Candi Borobudur dan Candi
Prambanan (Loro Jonggrang) adalah bukti-bukti kejayaan Kerajaan Mataram dari
abad ke-8 hingga ke-11. Candi Singasari, Kidal, dan Jago merupakan sisa-sisa
kebesaran Kerajaan Singasari, dari abad ke-11 hingga ke-13. Candi Tikus,
Bajangratu, Brahu, dan Wringin Lawang adalah peninggalan Kerajaan Majapahit,
dari abad ke-13 hingga ke-15. Candi-candi di sekitar Muara Jambi diduga
merupakan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 hingga ke-11.
Candi-candi
di Indonesia umumnya bercirikan agama Budha (terutama aliran Mahayana dan
Tantrayana) dan agama Hindu (terutama aliran Siwaisme) sesuai dengan agama yang
dianut oleh masyarakatnya. Candi bersifat Budha dikenal lewat arca Budha dan
bentuk stupa, misalnya Borobudur dan Mendut. Sementara itu, Candi bersifat
Hindu mempunyai arca-arca dewa-dewi di dalamnya, misalnya Prambanan dan Dieng.
Uniknya, beberapa candi bersifat campuran Siwa-Budha, antara lain Singasari dan
Jawi di Jawa Timur. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa pada masa ini masyarakat
yang beragama Siwa-Budha hidup rukun berdampingan, memperlihatkan sinkretisme.
Berbeda
dengan candi-candi di Jawa Tengah, bentuk candi di Jawa Timur kembali dihubungkan
dengan pemujaan terhadap gunung. Contohnya Candi Sukuh dan Candi Cetha. Menurut
kepercayaan dan alam pikiran masyarakat pada masa itu, candi merupakan tempat
sementara dan merupakan tiruan dan tempat dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung
Mahameru. Oleh karena itulah candi dihias dengan berbagai macam ukiran dan
pahatan yang terdiri atas pola-pola yang disesuaikan dengan alam gunung
tersebut; seperti bunga-bunga teratai, binatang--binatang ajaib,
bidadari-bidadari, dewa-dewi dan sebagainya.
Candi dimaksudkan untuk memuliakan orang
yang telah wafat khususnya para raja dan orang-orang terkemuka. Adapun yang
dikuburkan di situ bukan hanya jasad yang telah meninggal, melainkan juga
benda-benda seperti potongan berbagai jenis logam, batu-batu berharga, disertai
saji-sajian. Benda-benda tersebut dinamakan pripih
dan dipandang sebagai lambang zat-zat jasmaniah dan sang raja yang telah
bersatu kembali dengan penitisnya.
Setelah seorang raja meninggal dunia jenazah raja tersebut dibakar dan abunya dibuang ke laut. Kegiatan ini dilakukan dengan serangkaian upacara. Maksudnya adalah untuk menyempurnakan roh agar dapat bersatu kembali dengan dewa yang dahulu menitis dan menjelma di dalam diri sang raja tersebut.
Setelah seorang raja meninggal dunia jenazah raja tersebut dibakar dan abunya dibuang ke laut. Kegiatan ini dilakukan dengan serangkaian upacara. Maksudnya adalah untuk menyempurnakan roh agar dapat bersatu kembali dengan dewa yang dahulu menitis dan menjelma di dalam diri sang raja tersebut.
Selain mendirikan candi, biasanya dibuat
pula patung raja sebagai bentuk perwujudan sang raja sebagai dewa.
Candi yang dipergunakan sebagai
pemakaman hanya terdapat dalam agama Hindu, sedangkan candi-candi agama Budha
dimaksudkan sebagai tempat pemujaan kepada dewa saja. Bagi masyarakat penganut
agama Budha, candi bukanlah tempat penyimpangan pripih. Raja yang telah wafatpun tidak dibuatkan patung dirinya.
Abu jenasah para raja atau biksu yang wafat akan ditanam di sekitar candi dalam
bangunan stupa.
C.
Produk
Kebendaan/Karya Seni Awal dan Kajian Estetikanya
Menurut sejumlah arkeolog,
berdasarkan langgam seninya candi-candi di Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi tiga bagian. Pertama, langgam Jawa Tengah Utara. Contohnya Candi
Gunungwukir, Badut, Dieng, dan Gedongsongo. Kedua, Langgam Jawa Tengah Selatan
misalnya Candi Kalasan, Sari, Borobudur, Mendut, Sewu, Plaosan, dan Prambanan.
Ketiga, langgam Jawa Timur, termasuk candi-candi di Bali, Sumatera dan
Kalimantan. Contohnya Candi Kidal, Jago, Singasari, Jawi, Panataran, Jabung,
Muara Takus dan Gunung Tua.
Dilihat dari corak dan bentuknya,
pada dasarnya candi di Jawa Tengah Utara tidak berbeda dari candi-candi Jawa
Tengah Selatan. Hanya candi-candi di Jawa Tengah Selatan lebih mewah dan lebih
megah dalam bentuk dan hiasan dibandingkan candi-candi Jawa Tengah Utara.
Berdasarkan
tata letaknya, candi ada yang berdiri sendiri namun ada pula yang mengelompok
dan terdiri atas sebuah candi induk. Susunan letak candi yang demikian rupanya
sangat berkaitan dengan alam pikiran serta susunan masyarakatnya. Seperti
halnya kelompok candi di bagian Selatan Jawa Tengah selalu disusun dengan candi
induk berdiri di tengah dan candi-candi kecil lain di sekelilingnya. Di bagian
Utara Jawa Tengah, candi -candi itu berkelompok tak beraturan dan lebih
merupakan gugusan candi yang masing-masing berdiri sendiri. Hal seperti ini
mencerminkan adanya pemerintahan pusat yang kuat di Jawa Tengah Selatan dan
pemerintah federalnya yang terdiri atas daerah-daerah swatara yang sederajat di Jawa Tengah Utara. Dengan demikian dapat
dibayangkan bahwa pemerintahan keluarga Syailendra sifatnya feodal dengan raja
sebagai pusatnya, sedangkan keluarga Sanjaya bersifat lebih demokratis.
Di Jawa Timur, sejak zaman
Singhasari, susunan candinya berlainan pula. Candi induk terletak di bagian
belakang halaman candi, sedangkan candi-candi perwaranya serta bangunan-bangunan
yang lain ada di bagian depan. Candi induk adalah tersuci dan di dalam kelompok
menduduki tempat yang tertinggi. Susunan yang demikian menggambarkan
pemerintahan feodal yang terdiri atas negara-negara bagian yang memiliki
otonomi penuh, sedangkan pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi berdiri di
bagian belakang mempersatukan pemerintahan-pemerintahan daerah dalam rangka
kesatuan.
Secara
umum struktur candi dipilah tersusun dari tiga bagian tegak (vertikal). Bagian
kaki candi disebut BHURLOKA melambangkan dunia manusia
(dunia bawah=bhumi); bagian tubuh candi disebut BHUVARLOKA melambangkan dunia untuk
yang disucikan; dan bagian atap candi dikenal dengan SVARLOKA yang merupakan
dunia dewa-dewa.
1.
Candi-candi
di Jawa Timur
Di Jawa Timur banyak ditemukan peninggalan candi
yang tersebar sampai ke daerah-daerah terpencil. Di antara candi-candi tersebut
ada yang sudah dikonservasi ada juga yang sama sekali belum diperhatikan karena
terlampau rusak ataupun memang belum ditemukan karena tertimbun tanah.
Dari beberapa candi yang telah menjadi mata rantai
sejarah masa silam di Jawa Timur ini
kita bisa menelaah dan menafsirkan tentang pola perkembangan kebudayaan dari
Jawa Tengah hingga Jawa Timur yang dipengaruhi unsur geopolitik pada masa itu.
Pola perkembangan itu misalnya tentang kekayaan ide dalam berekspresi
(membangun candi). Benang merah dari perkembangan teknologi pembuatan candi ini
pada umumnya tentang unsur kebentukan (gaya), bahan baku, fungsi, hingga
ukuran.
Berikut beberapa contoh Candi yang ada di Jawa Timur
:
a. Candi
Badhut
b. Candi
Bajang Ratu
c. Candi
Brahu
d. Candi
Cetha
e. Candi
Gunung Gangsir
f. Candi
Jago
g. Candi
Jawi
h. Candi
Kidal
i. Cadi
Kolam Segaran
j. Candi
Panataran
k. Candi
Plumbangan
l. Candi
Rimbi
m. Candi
Sadon
n. Candi
Sawentar
o. Candi
Singhasari
p. Candi
Surawana
q. Candi
Tegawangi
r. Candi
Tikus
s. Candi
Wringin Lawang
2.
Perbandingan
Candi Jawa Tengah dan Jawa Timur
Jika diperhatikan lebih spesifik,
terdapat banyak perbedaan antara candi-candi yang ada di Jawa Tengah dengan
candi-candi yang ada di Jawa Timur. Memang ada persamaannya seperti fungsi dan
strukturnya secara umum. Perbedaan-perbedaan spesifik candi di kedua wilayah
itu diantaranya adalah candi-candi di Indonesia berbeda dengan
candi-candi yang ada di India yang berfungsi sebagai tempat peribadatan atau
kuil. Candi yang ada di Indonesia hanya mengambil unsur-unsur teknologi
pembuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra,
yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan
pembuatan arca dan bangunan. Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi
candi tersebut terdapat beberapa perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di
Indonesia adalah punden berundak-undak yang merupakan salah satu peninggalan
kebudayaan Megalithikum.
Bangunan Candi itu ada yang terkait dengan agama Hindu
dan juga agama Buddha. Candi sebagai tempat pemakaman hanya terdapat dalam
agama Hindu. Candi-candi Buddha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa saja.
Di dalamnya tidak didapatkan Pripih. Candi agama Hindu, contohnya adalah Candi
Prambanan, dan candi agama Buddha adalah Candi Borobudur. Kedua candi tersebut
memiliki perbedaan, yaitu pada bagian puncak candi. Puncak candi agama Hindu
berbentuk ratna. Sedangkan puncak candi agama Buddha berbentuk stupa.
Perbedaan candi juga didasarkan pada letaknya, yaitu
candi di Jawa Tengah dan candi yang terdapat di Jawa Timur. Perbedaan
bentuk-bentuk candi di kedua daerah tersebut antara lain:
a.
Bentuk bangunan candi Jawa Tengah tambun,
sedangkan candi Jawa Timur lebih ramping;
b. Candi Jawa Tengah atapnya berundak-undak,
sedangkan candi Jawa Timur merupakan perpaduan tingkatan;
c. Candi Jawa Tengah puncaknya berbentuk
ratna atau stupa, sedangkan candi Jawa Timur berbentuk kubus;
d. Gawang pintu dan relung candi Jawa
Tengah berhiaskan kala makara, sedangkan candi Jawa Timur makaranya tidak ada,
dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala;
e. Candi Jawa Tengah reliefnya timbul agak
tinggi dan lukisannya naturalisme, sedangkan candi Jawa Timur reliefnya tidak
terlalu timbul dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit;
f. Candi Jawa Tengah, candi induk letaknya
di tengah halaman, sedangkan candi Jawa Timur, candi induk letaknya di belakang
halaman;
g. Candi Jawa Tengah kebanyakan menghadap
ke Timur, sedangkan candi Jawa Timur menghadap ke Barat;
h.
Candi Jawa Tengah kebanyakan terbuat
dari batu andesit, sedangkan candi Jawa Timur terbuat dari bata atau terakota.
Candi sebagai bangunan terdiri dari tiga bagian penting,
yaitu kaki candi, tubuh candi, dan atap. Setiap bagian candi tersebut memiliki
arti dan tujuan tersendiri:
a.
Kaki Candi
Kaki candi memilki simbol sebagai dunia bawah tanah atau bhurloka. Denahnya bujur sangkar, dan
biasanya agak tinggi. Serupa batur, dan dapat dinaiki melalui tangga yang
menuju terus ke dalam bilik candi. Di dalam kaki candi itu, di tengah-tengah,
ada sebuah perigi tempat menanam Pripih.
b. Tubuh Candi
Tubuh candi (bhuvarloka) terdiri atas sebuah bilik yang
berisi arca perwujudannya. Arca ini berdiri di tengah bilik, jadi tepat di atas
perigi, dan menghadap ke arah pintu masuk candi. Dinding-dinding bilik di
bagian luarnya di beri relung-relung yang diisi dengan arca-arca. Relung
sebelah selatan di isi Arca Siwa, bagian utara Arca Durga, dan bagian belakang
(Barat atau Timur tergantung arah menghadapnya candi) diisi Arca Ganesha.
c. Atap Candi
Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol
dunia atas atau swarloka. Atap candi selalu terdiri atas susunan tiga
tingkatan, yang pada umunya semakin ke atas semakin kecil ukurannya yang bagian
ujungnya di beri semacam ratna atau stupa. Di dalam atap candi terdapat rongga
kecil yang dasarnya berupa batu segi empat berpahatkan gambar teratai merah
sebagai takhta dewa. Pembuatan rongga itu ditujukan sebagai tempat bersemayam
sementara sang dewa.
3.
Candi-candi Jenis
Jawa Tengah di bagian utara, yang terpenting adalah:
a.
Candi Gunung Wukir dekat Magelang, yang
berhubungan dengan prasasti Canggal tahun 732;
b.
Kelompok Candi Dieng, yang terdiri atas
berbagai candi yang oleh penduduk diberi nama-nama wayang, seperti Bima,
Samiaji, Arjuna, Gatutkoco, Semar, Srikandi, Dwarawati, dan sebagainya. Di
dekat Candi Arjuna didapatkan sebuah prasasti yag bertanggal tahun 809;
c. Kelompok Candi Gedong Songo di lereng
Gunung Ungaran;
d. Motif arsitektur yang sama juga
terletak di Candi Badut dekat Malang, yang berhubungan dengan Prasasti Dinoyo
tahun 760.
4.
Candi-candi jenis Jawa Tengah di
bagian selatan, yang terpenting adalah:
a. Candi Kalasan,
dekat Yogyakarta yang didirikan dalma tahun 778;
b. Candi Sari,
letaknya di dekat Candi Kalasan;
c. Candi
Borobudur, yang dalam bentuk dasarnya merupakan punden berundak-undak tetapi
disesuaikan dengan agama Buddha Mahayana untuk menggambarkan kamadhatu
(bagian kaki yang tertimbun dan tertutup oleh susunan batu-batu rata), rupadhatu
(bagian yang terdiri atas lorong-lorong dengan pagar-pagar tembok dan penuh
hiasan serta relief-relief yang seluruhnya sampai 4 km panjangnya), dan arupadhatu
(bagian atas yang terdiri atas batur-batur bundar, dengan
lingkaran-lingkaran stupa yang semuanya tidak dihiasi sama sekali). Puncaknya
berupa stupa yang besar sekali. Arca Buddha di Borobudur banyak sekali,
diperkirakan berjumlah 505 buah;
d. Candi Mendut,
di sebelah timur Candi Borobudur, yang di dalamnya memuat 3 arca batu besar
sekali, yaitu Buddha diapit oleh Padmapani dan Wajrapani;
e. Kelompok Candi
Sewu, di dekat desa Prambanan, yang terdiri atas sebuah candi induk dikelilingi
oleh kurang lebih 250 buah candi-candi perwara yang tersusun dalam 4 baris;
f. Kelompok Candi
Plaosan, di sebelah timur Candi Sewu, yang terdiri atas 2 buah candi induk
dikelilingi oleh 2 baris stupa dan 2 baris candi perwara;
g. Kelompok Candi
Loro Jonggrang di desa Prambanan. Yang disusun demikan sehingga candi induknya
untuk Siwa diapit oleh candi-candi untuk Brahmana dan Wisnu dan dengan beberapa
candi perwara lainnya merupakan pusat kelompok yang dikelilingi oleh lebih dari
200 buah candi perwara yang tersusun menjadi 4 baris.
5.
Candi-candi jenis Jawa Timur, yang
terpenting adalah:
a.
Candi Kidal, letaknya dekat Malang,
disebut juga Candi Anusapati;
b.
Candi Jago, letaknya dekat Malang, di
sebut juga Candi Wisnudharma;
c. Candi
Singosari, letaknya dekat Malang, disebut juga Candi Kertanagara;
d. Candi Jawi,
letaknya dekat Prigen;
e. Kelompok Candi
Panataran, letaknya dekta Blitar, yang halamannya terbagi atas 3 bagian
sedangkan candi induknya terletak di bagian belakang;
f. Candi Jabung,
letaknya dekat Kraksaan, berupa bangunan stupa yang besar dan tinggi;
g. Kelompok Candi
Muara Takus, letaknya di dekat Bangkinang, yang terdiri atas beberapa bangunan,
di antaranya yang masih tegak sebuah stupa yang bulat tinggi;
h. Kelompok
Candi-candi Gunung Tuo, letaknya di dekat Padang Sidempuan yang terdiri atas
berbagai biaro sebagai candi-candi induk yang letaknya tersebar dan
berjauhan. Dari arca-arca dan tulisan-tulisan yang didapatkan dapat diketahui
dengan jelas sifat-sifatnya Tantrayana.
Bangunan-bangunan lain yang juga sering disebut sebagai
candi adalah gapura-gapura. Masyarakat awam yang berada di sekitar bangunan
memang menyebutnya sebagai candi karena bentunknya memang mirip candi, namun
sebenarnya hanyalah berupa bangunan yang mirip pintu masuk menuju ke suatu
tempat. Gapura mempunyai dua bentuk yang berbeda, yaitu padu raksa dan candi bentar.
Pola padu raksa dapat kita lihat pada
Candi Bajang Ratu yang bagian atas kedua candi tersebut menyatu. Jenis gapura
yang kedua adalah yang bentuknya seperti bangunan candi yang dibelah dua,
sebagai tempat jalan keluar masuk. Gapura yang semacam ini yang sering disebut
sebagai candi, contohnya adalah Candi Waringin Lawang.
Selain itu, ada lagi bentuk bangunan candi yang dalam masyarakat juga disebut sebagai candi tetapi
sifat dan wujudnya sangat berbeda. Bangunan-bangunan ini adalah pertirtaan (tempat pemandian suci) dan candi padas. Pertirtaan yang terkenal
adalah Jolotundo dan Belahan di lereng Gunung Pananggungan dekat Mojokerto,
Candi Tikus di Jawa Timur, Goa Gajah dekat Gianyar. Sedangkan candi padas yang
terkenal adalah Gunung Kawi di Tampaksiring.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali
pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan Bupati
Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di
sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984
sampai dengan 1985. Nama 'Tikus' hanya merupakan sebutan yang digunakan
masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada
merupakan sarang tikus.
Dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara
abad 13 sampai 14 M, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa
itu.
. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja,
namun sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan
tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan. Namun,
menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan candi ini juga
berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian, yaitu sebuah kolam dengan beberapa
bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat dengan
ukuran 29,5 m x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah letaknya
yang lebih rendah sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan
paling atas terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan.
Di sisi dalam, turun sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar
mengelilingi tepi kolam. Pintu masuk ke candi terdapat di sisi utara, berupa
tangga selebar 3,5 m menuju ke dasar kolam.
Di
kiri dan kanan kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang
berukuran 3,5 m x 2 m dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-masing
kolam berjajar tiga buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari
batu andesit.
Tepat menghadap ke anak tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat
sebuah bangunan persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan
ini terdapat sebuah 'menara' setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk meru
dengan puncak datar. Menara yang terletak di tengah bangunan ini dikelilingi
oleh 8 menara sejenis yang berukuran lebih kecil. Di sekeliling dinding kaki
bangunan berjajar 17 pancuran berbentuk bunga teratai dan makara.
Hal lain yang menarik ialah adanya dua jenis batu bata dengan ukuran
yang berbeda yang digunakan dalam pembangunan candi ini. Kaki candi terdiri
atas susunan bata merah berukuran besar yang ditutup dengan susunan bata merah
yang berukuran lebih kecil. Selain kaki bangunan, pancuran air yang terdapat di
candi inipun ada dua jenis, yang terbuat dari bata dan yang terbuat dari batu
andesit.
Perbedaan bahan bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan
bahwa Candi Tikus dibangun melalui
tahap. Dalam pembangunan kaki candi tahap pertama digunakan batu bata merah
berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan bata merah berukuran
lebih kecil. Dengan kata lain, bata merah
yang berukuran lebih besar usianya lebih tua dibandingkan dengan usia yang
lebih kecil. Pancuran air yang terbuat dari bata merah diperkirakan dibuat
dalam tahap pertama, karena bentuknya yang masih kaku. Pancuran dari batu
andesit yang lebih halus pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap kedua.
Walaupun demikian, tidak diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan
tersebut dilaksanakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Holt, Claire. (2000). Melacak Jejak Perkembangan Seni Di
Indonesia. Bandung: Arti.Line.
Soekmono, Satyawati Suleiman. (1971). Kesenian Indonesia Purba. N.Y. City:
Asia House Gallery.
Yudoseputro, W. (1983). Seni
Kerajinan Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai
Pustaka.
http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/badhut/badut.htm
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080808054804AAEQuXg
http://awidyarso65.files.wordpress.com/2008/09/candi-tulisanku1.pdf
http://www.docstoc.com/docs/18470671/Seni-dan-Budaya-Jawa-Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar