KAJIAN KOSMOLOGI KOTA SUMEDANG SEBAGAI KOTA KUNO



Oleh : Lendra Morjuangsah

Letak Geografis Kota Sumedang
Sumedang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Sumedang yang terletak sekitar 45 km Timur Laut dari Kota Bandung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di Utara, Kabupaten Majalengka di Timur, Kabupaten Garut di Selatan, Kabupaten Bandung di Barat Daya, serta Kabupaten Subang di Barat.
Kabupaten Sumedang terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Kota ini meliputi kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang merupakan daerah yang dilintasi jalur utama Bandung-Cirebon. Jalur utama ini dibuat pada tahun 1811 yang merupakan peninggalan Jendral Deandels. Ketika itu banyak rakyat Sumedang yang menderita, karena dipaksa membuat jalan di bukit yang bercadas.  Sampai sekarang jalan ini dikenal dengan sebutan Jalan Cadas Pangeran.
Gambar
Peta Kabupaten Sumedang (Merah) Dalam Wilayah Provinsi Jawa Barat (Kuning). 
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sumedang


Historiografi Sumedang
Pada zaman dulu Sumedang merupakan sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Didirikan oleh Prabu Adji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Adji Putih pada (abad ke-12). Kemudian pada masa zaman Prabu Tadjimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang. Sumedang berasal dari kata Insun Medal/ Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan, dan larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angka Wijaya / Prabu Geusan Ulun sekitar tahun (1578), dan dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Selatan sampai dengan Samudera Hindia, wilayah Utara sampai Laut Jawa, wilayah Barat sampai dengan kali Cisadane, dan wilayah Timur sampai dengan kali Cipamali.
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yaitu terdapat Alun-alun sebagai pusat yang dikelilingi Mesjid Agung, rumah penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun terdapat bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching (Yayasan Pangeran) dari Belanda dan dipersembahkan untuk Pangeran Aria Suriaatmadja atas jasa-jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal (22 Juli 1922) oleh Gubernur Jenderal Mr. D. Folk Sampai saat ini Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang.

Kosmologi Sumedang Sebagai Kota Kuno
Kosmologi menurut pengertian kamus bahasa sunda adalah ilmu yang menyelidiki asal-usul, struktur dan hubungan ruang waktu dari alam semesta. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu objek. Kata Kosmologi sendiri sebenarnya berasal dari kata “Kosmos” yang berarti susunan, tatanan, dan ketertiban. Dalam kosmologi, manusia mencari struktur-struktur dan hukum-hukum yang paling umum dan mendalam dalam kenyataan duniawi sebenarnya. Dalam kosmologi manusia bertanya: dunia ini apa? materi itu apa? perubahan itu apa? ruang dan waktu itu apa? penyebab atau kausalitas itu apa.? Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong manusia memikirkan dunia sebagai suatu keseluruhan menurut dasarnya, menurut intinya dan tempatnya dalam keseluruhan.
Sumedang dikenal sebagai kota budaya karena menyimpan koleksi artefak yang cukup banyak yang masing-masing memiliki makna simbolis tentang nilai-nilai kosmologi yang menyiratkan hubungan antara manusia, alam, dan penciptanya. Jika dilihat dari beberapa peninggalan artefak budayanya ada yang memperlihatkan pola-pola kosmologi Sunda (pola tritangtu), dan ada juga yang memakai pola Jawa yang memakai pola empat (pola mancapat kalima pancer). Hal ini mungkin terjadi karena pernah ada hubungan yang cukup ‘erat’ antara Sumedang dengan Mataram. Pada masa Sumedang Larang berjaya, Prabu Geusan Ulun sering berangkat ke Mataram untuk memperdalam ilmu agama. Dan ketika Sumedang  Larang dikuasai Mataram maka pengaruh Jawa semakin banyak masuk ke Sumedang. Pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram.
Di antara pengaruh tersebut dapat kita lihat contohnya seperti pada tata letak kota, benda regalia di museum YPS Prabu Geusan Ulun Sumedang, monumen Lingga, kereta kencana, seni musik, bahkan kesenian Sunda yang ada di Rancakalong Sumedang yang masing-masing terdapat pengaruh pola empat Jawa.
Dari keterangan di atas, analisis artefak budaya di Sumedang dapat dibedakan berdasarkan periode sejarahnya. Ada artefak masa megalitik (memakai pola tiga / tri tangtu sebagai pola Sunda asli) seperti pada area pemujaan di makam Aji Putih, dan ada artefak ketika Sumedang dikuasai Mataram (memakai pola empat).
Alam pikiran pola empat dalam beberapa hal merupakan gabungan dari pola dua dan pola tiga. Dari pola dua, unsur dominasinya yang diambil, yakni semangat persaingan untuk mengalahkan pasangan dualistiknya. Dari pola tiga, diambil unsur azas timbal balik.
Penempatan alun-alun sebagai pusat kota merupakan salah satu contoh tentang penerapan pemahaman kosmologi pada saat pendiriannya. Alun-alun yang  di dalamnya terdapat lingga bermakna transenden dijadikan sebagai pancer dari hubungan pasangan dualistik yang masing-masing membentuk garis imajiner.











 Kosmologi Tata Kota Sumedang

1.    Alun-alun
Alun-alun menjadi pusat dari peta kosmologis antar hubungan pasangan dualistik yang paradok antara gunung tampomas (utara) sebagai simbol laki-laki dan empang sebagai simbol perempuan (selatan), antara mesjid agung (kebaikan) dengan rumah penjara (keburukan), dan antara Gd. Jaksa dengan kantor pemerintahan.
Di dalam ruang kosmologi alun-alun terdapat sebuah monumen Lingga yang didirikan tahun 1922 oleh Yayasan Pangeran. Lingga ini maksudnya sebagai simbol dari kesuburan (laki-laki) yang  dipadankan seperti alu, sebatang kayu panjang untuk menumbuk padi. Pasangan dualistik dari lingga adalah yoni (alat kesuburan wanita) yang dipadankan seperti  antan pasangan alu ketika menumbuk padi. Lingga Sumedang sebagai artefak yang dipengaruhi kebudayaan Hindu ini terkesan lebih modern karena memang sudah ada pengaruh arsitektur Belandanya. Lingga yoni Sumedang cenderung lebih memperlihatkan konsep kosmologi Jawa karena Lingga dibentuk bersatu dengan Yoni nya. Lingga Yoni ini merupakan lambang harmonisasi paradok antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bisa dilihat dari bentuk bagian atas (lingga) yang berpola lingkaran mengalami deformasi dibagian tengah yang kemudian menjadi Yoni yang berpola kotak pada bagian bawahnya.
Alun-alun beserta gedung jaksa, gedung Negara, Rumah penjara, dan mesjid agung merupakan satu pola yang saling berhubungan. Masyarakat Sumedang yang diibaratkan tinggal di tengah alun-alun akan di sidang di gedung jaksa/pengadilan dan bila terbukti bersalah maka akan diproses di rumah penjara. Setelah keluar dari rumah penjara kemudian di tempa ilmu agama di mesjid, dan setelah keluar dari mesjid akan kembali menjadi masyarakat yang harmonis.
Monumen Lingga
Sumber: Koleksi Pribadi

2.    Tampomas

Gunung Tampomas

Gunung Tampomas merupakan gunung stratovolcano andesitik kecil yang ada di Kabupatén Sumedang, Jawa barat, Indonésia.
Berdasarkan naskah Bujangga Manik, dahulu gunung ini dinamakan gunung Tompo Omas.
Tampomas terletak di sebelah utara kota Sumedang (6.77° LS 107.95° BT ). Stratovolcano dengan ketinggian 1684 meter ini juga memiliki sumber air panas.
Gunung ini seperti halnya gunung merapi di Jawa Tengah dimaknai laki-laki. Gunung ini membentuk garis imajiner dan dipasangkan dengan empang yang berada di arah selatan alun-alun Sumedang.
Gunung dimaknai sebagai lelaki karena bersifat kering.
3.    Empang
Empang merupakan semacam danau kecil yang terdapat di belakang gedung pemerintahan. Empang disimbolkan sebagai perempuan yang bersifat basah. Empang merupakan pasangan dari gunung Tampomas yang berada di sebelah utara alaun-alun Sumedang. Di empang ini terdapat semacam tempat berteduh yang dinamai bale kambang. Bale kambang ini dipakai sebagai tempat untuk istirahat dan memancing. Ikan yang ada di empang ini hanya jenis ikan tertentu saja seperti ikan Ranca. Ikan Ranca ini dipanen hanya setahun sekali yaitu pada saat menjelang upacara penyambutan hari Mulud.










          Empang

4.    Pengadilan/ Gedung Jaksa
     Gedung jaksa yang berada di sebelah utara alun-alun merupakan tempat proses pengadilan.
5.  Gedung Negara
    Gedung ini diidentikan seperti keraton di Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan. Lokasinya segaris dengan  Gunung tampomas, gedung jaksa, Lingga di alun-alun dan Empang.
6.  Rumah Penjara
      Tempat ini digunakan sebagai ruang tahanan dari masyarakat Sumedang yang melanggar hukum.
7.  Mesjid
   Mesjid merupakan ruang yang bernilai illahiyah. Tempat ini berfungsi untuk menciptakan masyarakat yang harmoni. Mesjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun.

 Kepustakaan:
Soemardjo, Jacob. (2006). Estetika Paradoks.: STSI Bandung : Sunan Ambu Press

2 comments:

Spenda on the blog said...

keren cuy ... rada digiatkeun ah update beritana...

nissa said...

Nice one, pak guru! keep up the good work...!